logo blog

Hukum Menggunakan Obat Untuk Mempercepat Proses Kelahiran

Hukum Menggunakan Obat Untuk Mempercepat Proses Kelahiran

http://www.lenterakabah.com/wp-content/uploads/2016/11/Hukum-Menggunakan-Obat-Untuk-Mempercepat-Proses-Kelahiran.jgu

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum menggunakan sesuatu yang bisa mempercepat kelahiran

Jawaban
Menggunakan sesuatu yang bisa mempercepat kelahiran ada dua.

Pertama : Apabila bertujuan untuk menggugurkan kandungan dan membinasakannya setelah ditiupkannya roh kepadanya, maka hukumnya adalah haram tanpa keraguan, karena termasuk membunuh jiwa yang diharamkan tanpa ada sebab yang membolehkannya. Sedangkan membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh, dengan jelas diharamkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta ijma kaum muslimin. Namun apabila terjadi sebelum ditiupkannya roh ke dalam tubuhnya, maka para ulama berselisih pendapat tentangnya. Ada yang membolehkannya dan ada pula yang melarangnya. Ada yang membolehkannya selama belum berbentuk gumpalan darah atau berumur empat puluh hari, ada yang membolehkan selama belum berbentuk tubuh manusia.

Yang lebih selamat adalah melarang untuk menggugurkannya kecuali apabila ada kebutuhan yang mendesak, seperti wanita sakit yang tidak mampu untuk menanggung kehamilan dan sejenisnya. Dalam kondisi ini boleh menggugurkannya sebelum sampai pada fase terbentuknya tubuh manusia. Wallahu a’lam.

Kedua : Mengeluarkan janin dengan paksa bukan bertujuan untuk membinasakannya, semisal mengeluarkannya bila sudah mencapai umur kelahiran. Ini diperbolehkan selama tidak membahayakan terhadap ibu dan anaknya, namun dilakukan tanpa operasi. Apabila diperlukan operasi, maka ada empat kemungkinan.

[1]. Kondisi Ibu Dan Anak Masih Hidup
Dalam hal ini tidak boleh dilakukan operasi kecuali ada kebutuhan yang mendesak, seperti kesusahan dalam melahirkan yang mengharuskan untuk operasi. Hal ini karena tubuh merupakan amanat dari Allah maka tidak boleh diperlakukan dengan semaunya kecuali untuk kemaslahatan yang lebih besar. Atau mungkin semula mengira tidak berbahaya untuk melakukan operasi tapi ternyata justru membahayakannya.

[2]. Kondisi Ibu dan Anak Sudah Meninggal
Dalam kondisi ini tidak diperbolehkan melakukan operasi karena tidak ada faedahnya.

[3]. Kondisi Ibu Masih Hidup Dan Anak Sudah Meninggal
Dalam kondisi ini boleh melakukan operasi untuk mengeluarkan bayi, kecuali apabila dikhawatirkan terjadi sesuatu yang membahayakan ibunya. Alasannya, apabila bayi sudah meninggal dalam perut ibunya, secara zhahir menunjukkan bahwa tubuh itu tidak bisa keluar kecuali dengan operasi. Menetapnya tubuh bayi yang sudah meninggal di dalam perut ibunya menghalangi untuk bisa hamil lagi di kemudian hari serta menyulitkannya. Atau si ibu akan tetap sebagai janda (yang tidak boleh dinikahi) apabila dalam keadaan iddah (diceraikan atau suaminya meninggal, karena wanita hamil yang diceraikan atau suaminya meninggal masa iddahnya sampai ia melahirkan bayinya).

[4]. Kondisi Ibu Sudah Meninggal Dan Bayi Masih Hidup
Dalam kondisi ini, jika tidak bisa diharapkan kehidupannya berkelanjutan maka tidak boleh dioperasi. Namun bila masih bisa diharapkan kelanjutan hidupnya, jika sebagian tubuh bayi sudah keluar, maka boleh membelah tubuh ibunya untuk mengeluarkan sebagian yang tersisa. Tapi apabila tubuh bayi belum keluar, sebagian ulama kita menyebutkan, “Tidak boleh membelah perut ibunya untuk mengeluarkan bayinya”. Ini tidak benar. Yang benar, diperbolehkan mengoperasi ibunya bila memang merupakan suatu keharusan untuk mengeluarkannya. Pendapat ini dipilih Ibnu Hubairah yang disebutkan dalam kitab Al-Inshaf.

Saya katakan, apabila dalam zaman kita ini, operasi bukanlah merupakan perkara yang mengkhawatirkan, karena perut yang dioperasi selanjutnya dijahit. Juga, karena kepentingan hidupnya bayi lebih diutamakan dari kepentingan ibu yang sudah meninggal. Menolong jiwa yang bersih hukumnya wajib. Bayi merupakan jiwa yang bersih terjaga, maka wajib hukumnya untuk menolongnya. Wallahu a’lam.

Peringatan : Dalam kondisi diperbolehkan menggugurkan kandungan, harus dengan seizin yang berhak atas anak, seperti suami.

[Majmu Fatawa wa Rasailusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/232]

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtofIQfbVzdcHRQ6iN7iCgD7hcq2Po-aonyvK-hgOfxkvtKAUdLrqR9eWBGb8HrxgldxL8N2y81snxA7q_kVWSruJGqC5s46VNRciq-R_aiZ6xRtktlx6rd-dmbM9tgwkj5v2oYCAPfOM/s400/bayi-dalam-rahim.jpg

MENDERITA TEKANAN DARAH TINGGI, KEHAMILAN MEMBAHAYAKANNYA

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Istri saya menderita tekanan darah tinggi, kehamilan membahayakan kehidupannya. Para dokter sudah menasehatinya agar tidak hamil. Akan tetapi Allah bekehendak lain, ia hamil dan sekarang ini dalam minggu-minggu pertama kehamilannya. Dokter menasehatkan kepadanya untuk menggugurkan kandungannya, tapi ia menolak sebelum memperoleh kejelasan hukumnya dalam agama. Bolehkan baginya untuk menggugurkan kandungannya?

Jawaban
Diperbolehkan menggugurkan nuthfah sebelum berumur empat puluh hari dengan obat-obatan yang diperbolehkan. Boleh baginya untuk menggugurkan kandungan jika kehamilan tersebut membahayakan jiwanya dengan keterangan dari dokter spesialis.

[Fatawa Mar’ah, 1/93]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]




**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah

Share this:

Enter your email address to get update from ISLAM TERKINI.

Tidak ada komentar

About / Contact / Privacy Policy / Disclaimer
Copyright © 2015. Sahabat Muslim - All Rights Reserved
Template Proudly Blogger