logo blog

Promosi Dengan Menggunakan Hadiah, Bagaimana Hukumnya?

Promosi Dengan Menggunakan Hadiah, Bagaimana Hukumnya?


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwfOUsWIzheiSK6-lARmul8UAMRzW27t2d6RxQoevkN5SQTTI2x0i-nBR0X2qcxPivra2UGUeV6MIvu8dGZoOKPpTIEo7GNCiPDjIpng3hg4FMS1nin9XZbg2jHDsz6tShEOrkz-8phFo/s1600/market-arabian.jpg

Oleh : Syaikh Muhammad bin Ali Al-Kamili

Pada masa sekarang ini, untuk meningkatkan angka penjualan produk,para produsen melakukan penawaran dengan iming-iming hadiah. Corak promosi seperti ini bisa kita dapatkan di pasaran, dengan beragam jenis dan kiatnya. Tinjauan fikih sendiri menyikapi promosi dengan iming-iming hadiah ini amat terperinci. Karena di balik semaraknya berbagai jenis “hadiah” ini, ternyata terselubung tipu muslihat dan perjudian.

PANDANGAN FIKIH SECARA UMUM
 
Berkaitan dengan hadiahnya tersebut, bisa ditinjau dari dua sudut pandang.

A. Untuk mendapatkan hadiah atau terlibat dalam undian tersebut, disyaratkan dengan membeli produk tertentu.

1). Hadiah tersebut, tidak semua konsumen bisa mendapatkannya. Dengan kata lain, ada yang mendapatkan hadiah tersebut dan ada juga yang tidak.

Cara promosi berhadiah seperti ini tidak diperbolehkan atau haram. Alasannya, di dalamnya mengandung unsur maysir dan qimar. Sebab, setiap konsumen sudah mengeluarkan biaya, tetapi tidak mendapatkan kepastian dalam hal mendapatkan hadiahnya. Yakni, tidak diketahui siapa yang akan mendapatkan hadiah dan siapa yang tidak. Dari sisi ini juga mengandung unsur gharar.

2). Semua Mendapatkan Hadiah
 
Metode ini terbebas dari ketidakpastian dan jahalah (tidak diketahui siapa yang akan mendapatkan hadiah).Jadi, jika semua konsumen mendapatkan hadiah, maka jenis promosi seperti ini diperbolehkan, karena tidak termasuk ke dalam maysir ataupun qimar. Hadiah seperti ini termasuk sebagai discount, atau sebagai pemberian secara cuma-cuma (atau Hadiah dalam bahasa Arab).

Dalam promosi menggunakan hadiah ini, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a). Hadiahnya diketahui secara pasti
b). Tidak ada unsur penipuan atau mengelabui konsumen
c). Tidak ada penambahan harga jual produk
d). Bila ada penambahan harga karena hadiah tersebut, maka pihak produsen harus memberitahukannya.
e). Tidak bersifat memaksa konsumen atau memanfaatkan mereka, karena siapa pun ternyata membutuhkan produk yang dimaksud manakala tidak ada hadiahnya. Dengan kata lain, harus diberikan pilihan, membayar lebih dan mendapatkan hadiah sekaligus, atau membayar dengan harga biasa, tetapi tidak mendapatkan hadiah.

B. Ditinjau dari segi keberhasilannya, yaitu hadiah yang tidak ada kepastian apakah konsumen akan mendapatkan atau tidak. Dari sudut pandang ini, maka hadiah tersebut ada dua macam.

1). Untuk mendapatkan hadiah atau ikut undian diharuskan membayar sejumlah biaya tertentu. Jenis pertama ini hukumnya haram, karena termasuk memakan harta orang lain secara batil. Dan lagi, setiap orang yang terlibat, ia membayar sama kepada penyedia hadiah, tetapi masing-masing tidak memiliki kepastian akan mendapatkan hadiah atau tidak. Demikian inilah bentuk maysir atau qimar.

Di sisi lain, terkadang konsumen berbondong-bondong membeli produk tersebut bukan karena memerlukannya, tetapi semata-mata karena hadiah dibalik undiannya. Yang seperti ini diharamkan, karena mengandung unsur perjudian.

Adapun apabila produknya dapat dijual dengan harga yang biasa (tidak dinaikkan), dan ternyata konsumen juga membelinya karena membutuhkannya, bukan semata-mata karena hadiahnya, maka dalam memandang kasus seperti ini, para ulama berbeda pendapat.

Pendapat Pertama
 
Apabila kemungkinan dari undian tersebut antara untung (mendapatkan hadiah) dan selamat (tidak sampai merugi jika tidak mendapatkan hadiah), maka hukumnya diperbolehkan, sepanjang konsumen membelinya karena membutuhkannya, baik konsumen itu mengetahui tentang adanya undian tersebut maupun tidak.

Adapun jika konsumen mengetahui tentang undian tersebut, lalu ia membeli produk tersebut agar bisa ikut undian, maka hukumnya haram. Sebab, nantinya akan timbul kemungkinan beruntung mendapatkan hadiah, atau merugi karena tidak mendapatkan hadiah.[1]

Pendapat Kedua
 
Memandang bahwa yang lebih utama, undian seperti ini adalah haram. Pendapat ini beralasan dengan beberapa hal.

a). Tujuan ketika membeli produk adalah urusan hati, dan ini tidak bisa diketahui begitu saja.

b). Undian seperti ini merupakan celah yang membawa kepada taruhan atau perjudian

c). Undian seperti ini lebih sering mengandung unsur gharar, sebab ketika konsumen membeli produk, ia merasa mendapatkan hadiah.

d). Dalam undian seperti ini, juga menimbulkan efek negatif adanya unsur judi. Misalnya memicu sifat iri dengki sesama konsumen, dan mengkondisikan konsumen untuk malas dan mengharapkan sesuatu yang khayal

e). Menggiring konsumen untuk membeli produk tersebut, walaupun ia tidak benar-benar membutuhkannya, sehingga menimbulkan perbuatan israf dan menyia-nyiakan harta.

f). Membuka celah untuk melakukan tipu daya dan mengelabui orang lain.

Tarjihnya, yang lebih utama adalah haram.

2). Untuk mendapatkan hadiah atau terlibat dalam undian, konsumen tidak dibebankan biaya apapun.

Jenis undian seperti ini dipebolehkan. Sebab, hadiah yang disediakan oleh konsumen layaknya pemberian cuma-cuma dan atas kerelaan produsen. Wallahu ‘alam

http://www.lenterakabah.com/wp-content/uploads/2016/06/1466989725_338_Promosi-Dengan-Menggunakan-Hadiah-Bagaimana-Hukumnya.jpg

RAGAM HADIAH DAN HUKUMNYA
 
Hadiah dalam konteks promosi memiliki banyak ragam dan corak. Sekurang-kurang ada tiga jenis.

A. Hadiah yang mensyaratkan sesuatu untuk mendapatkannya. Jenis ini di pasaran tak lepas dari beberapa kemungkinan.

1). Hadiah disertakan bersama produk yang dijual. Hadiah seperti ini ada dua bentuk.

a). Hadiah yang bentuk dan jenisnya diketahui.

Sebagai gambaran, untuk setiap pembelian satu pack teh, konsumen berhak mendapatkan hadiah satu buah gelas. Hukum promosi dengan hadiah seperti ini diperbolehkan. Kedudukan hadiahnya sendiri, ibarat pemberian secara suka rela atau bentuk lain dari discount. Dan di lain pihak, setiap konsumen akan mendapatkannya. Selain itu, dalam promosi hadiah seperti ini tidak mengandung unsur gharar.

Tetapi apabila bentuknya berupa dua item produk yang disatukan dengan harga penjualan yang tidak bisa dipisahkan, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Sebab, ini bukan hadiah ataupun discount. Ini sekedar cara untuk melariskan barang yang kurang laku atau tidak laku, dan menggiring konsumen untuk membelinya. Dalam promosi jenis ini, menimbulkan kondisi ‘adamut-taradhi (tidak ada kerelaan) dari kedua belah pihak, khususnya konsumen.[2]

b). Bentuk dan jenisnya tidak diketahui. Jenis hadiah seperti ini ada dua bentuk.

– Hadiah mengandung pada setiap produk yang dijual. Hukum promosi seperti ini tidak diperbolehkan karena beberapa hal, yaitu: hadiahnya tidak diketahui, hadiahnya berpengaruh pada harga produk, mengandung unsur gharar, yaitu konsumen akan menduga bahwa hadiahnya adalah sesuatu yang berharga, dan juga mengkondisikan konsumen berlaku isrâf.

– Hadiah mengandung pada sebagian produk saja. Promosi seperti ini hukumnya haram juga.

Alasannya: konsumen membeli produk untuk mendapatkan hadiah, tetapi ternyata sebagian dari mereka tidak mendapatkannya, mengandung unsur gharar karena hadiahnya berpengaruh kepada harga jual produk, harga produk lebih tinggi dibandingkan ketika tidak ada hadiahnya, tetapi produsen tidak memberitahukannya, telah mengkondisikan konsumen untuk berlaku isrâf karena memburu hadiah, menimbulakan sifat iri dengki di antara konsumen.[3]

2). Undian berhadiah.
 
Sebagai gambaran, konsumen membeli suatu produk, atau belanja di pusat perbelanjaan tertentu, dan lain sebagainya. Setelah membayar, konsumen akan mendapatkan kupon untuk mengikuti undian yang diadakan oleh produsen, yang penarikan undiannya akan dilakukan pada tanggal yang sudah ditentukan.

Hukum promosi seperti ini adalah haram karena termasuk qimâr. Konsumen tidak diperbolehkan terlibat dalam undian-undian seperti ini.

Alasannya:
– Konsumen mengeluarkan biaya untuk mengikuti undian ini, baik dalam bentuknya membeli produk tertentu atau membeli kuponnya secara langsung.
– Mengandung unsur gharar, karena tidak diketahui siapa yang akan beruntung dan siapa yang tidak beruntung (gagal).
– Membuat konsumen berlaku isrâf dengan membeli barang yang tidak dibutuhkannya, atau lain sebagainya.
– Menimbulkan fitnah iri dengki dan lain-lain.
Dalam permasalahan ini, Syaikh Bin Bâz pernah ditanya dengan pertanyaan:

(1) Bagaimana hukum mengikuti undian yang tidak memungut biaya apapun. Dan kalaupun tidak mendapatkan hadiah, ia tidak akan mendapatkan kerugian apapun.

(2) Bagaimana (hukum) belanja di suatu pusat perbelanjaan agar mendapatkan kupon untuk mengikuti undian yang diadakannya?

Syaikh Bin Bâz menjawab: Mengikuti undian seperti ini termasuk ke dalam qimâr. Dan itu merupakan maysir yang dilarang Allah dalam firman-Nya “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dalam khamr dan berjudi itu, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka, berhentilah kamu (dari melakukan pekerjaan itu). -Qs al-Ma’idah/5 ayat 90, 91”.[4]

3). Undian berhadiah yang dikemas, seolah-olah dengan menunjukkan lomba ilmiah.
 
Sebagai contoh, misalnya, oleh produsen, dalam suatu produk dilampirkan (disertakan) undian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan ilmiah, namun tingkat kesulitan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat rendah atau sangat mudah untuk menjawabnya, sehingga anak kecil pun sanggup menjawabnya. Bukan itu saja, bahkan terkadang di lembaran lainnya, atau bentuk lainnya, disertakan jawabannya. Jadi, undian ini tidak benar-benar menjadi sebuah kompetisi ilmiah, tetapi sebuah promosi untuk meningkatkan angka penjualan saja. Atau tujuan lain, misalnya, mempropagandakan yang ada di balik pertanyan-pertanyaan yang diajukan, atau maksud lainnya lagi. Sebutlah sebagai contoh, yaitu undian dan kupon yang disertakan secara berseri oleh sebuah koran harian selama sebulan penuh.

Promosi undian seperti ini termasuk qimâr, sehingga tidak diperbolehkan atau haram. Undian seperti ini, pada prakteknya juga sama dengan undian-undian pada poin (2).

4). Investasi (Saham Berhadiah).
 
Yang dimaksud dengan investasi (saham berhadiah) ialah, salah satu produk bank. Yaitu berupa lembaran saham atau tawaran investasi kepada masyarakat dengan harga tertentu, dan konsumen sendiri bisa mencairkan investasinya ini sewaktu-waktu. Setiap konsumen yang membeli, ia diikutkan ke dalam undian dengan bukti lembaran saham tadi, yang penarikannya dilakukan setiap bulan.

Hukum promosi dengan undian seperti ini juga termasuk dalam kategori qimâr yang diharamkan. Selain itu, bisa jadi di dalamnya terkandung unsur riba, yaitu investasi yang ditanamkan nasabah akan mendapatkan faidah (manfaat) berupa bunga dari pihak bank. Atau hadiahnya itu sendiri diambil dari bunga simpanan para nasabah.

B. Hadiah Yang Tidak Mensyaratkan Apapun Untuk Mendapatkannya.
 
Bentuk undian berhadiah seperti ini bisa saja sebagai berikut.

1). Undian yang diadakan oleh penyelenggara, baik produsen, toko, mall, maupun pabrik, tanpa mensyaratkan apapun kepada konsumen yang hendak mengikutinya; misalnya tidak dengan membeli produk tertentu, belanja di toko tertentu, atau membeli kupon tertentu. Ini seolah-olah pemberian cuma-cuma dari pihak penyelenggara.

2). Sebuah promosi yang dilakukan oleh suatu instansi atau lainnya dengan cara membagikan kupon undian atau perlombaan, atau membagikan kupon berseri secara berurutan, tanpa mengambil pungutan atau timbal balik apapun kepada konsumen, dan tanpa adanya unsur yang membedakan antara konsumen yang satu dengan lainnya dalam pembagiannya. Seolah-olah dibagikan secara acak agar undian ini segara sampai kepada konsumen. Selanjutnya, pada tahap akhir diadakan pengundian atau penarikan kupon untuk menentukan pemenangnya.

Hukum undian berhadiah seperti ini diperbolehkan, sebab tidak di dalamnya tidak mengandung unsur perjudian untung rugi layaknya qimâr atau maysir. Selain itu, juga tidak mengandung unsur gharar. Pihak penyelenggara, ibarat orang yang memberikan sumbangan secara suka rela. Lalu orang yang terlibat dalam undian memiliki dua kemungkinan, yaitu beruntung mendapatkan hadiah, atau jika tidak mendapatkan hadiah, ia tidak mengalami kerugian, karena pada orang yang mengikuti undian ini tidak dibebani sesuatu apapun sebelumnya; tidak harus membeli produk, tidak harus berbelanja di tempat tertentu, dan juga tidak harus membeli kupon undiannya.

C. Hadiah Pada Perlombaan Atau Kompetisi Ilmiah.
 
Yang dimaksud kompetisi ilmiah adalah musâbaqah ilmiah dalam beragam disiplin ilmu, baik Al-Qur`an, hadits, fikih, dan lain sebagainya. Termasuk di dalamnya, yaitu kompetisi ilmiah dalam rangka khidmah kepada disiplin ilmu tertentu yang bermanfaat. Hukum kompetisi atau musâbaqah itu sendiri diperbolehkan.[6]

Sementara itu, dalam memandang hukum hadiah yang mengandung pada perlombaan ilmiah ini, para ulama terbagi ke dalam dua pendapat.

Pendapat Pertama : Melarangnya.

Yaitu tidak memperbolehkan adanya hadiah dalam musâbaqah ilmiah. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali dalam salah satu pendapatnya. [7]

Dalilnya adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لا سَبَقَ إلاّ في خُف أو نَصْلٍ ْ أوْ حَافِرٍ

“Tidak ada perlombaan (memperebutkan sesuatu), kecuali dalam memanah, pacuan onta, atau kuda”.[8]

Yang dimaksud dengan memperebutkan sesuatu dalam hadits ini dibatasi hanya dalam tiga perlombaan saja. Adapun kompetisi ilmiah, tidak termasuk salah satu dari tiga hal tersebut.

Pendapat Kedua : Membolehkannya.

Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi dan salah satu pendapat dari mazhab Hambali. Pendapat ini juga dirâjihkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim. [9]

Dalil pendapat ini ialah:

1. Sebuah hadits yang diriwayatkan melalui jalur Ibnu ‘Abbas berkaitan dengan firman Allah Ta’ala: “Alif lâm-mîm. Telah dikalahkan Romawi, di negeri yang terdekat…” [Ar-Rûm/30:1-3].

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Pada saat itu orang-orang musyrik menginginkan Persia yang mengalahkan Romawi, sebab mereka sama-sama penyembah berhala. Sedangkan kaum Muslimin sendiri menginginkan Romawi yang mengalahkan Persia, sebab orang-orang Romawi adalah Ahlul-Kitab.

Lalu mereka menceritakan hal ini kepada Abu Bakar. Selanjutnya Abu Bakar menceritakan hal ini kepada orang-orang musyrik. Mereka pun berujar: “Tentukanlah tempo antara kami dan engkau. Apabila kami yang benar atau menang, maka kami berhak mendapatkan anu dan anu. Dan apabila engkau yang benar, maka engkau berhak anu dan anu,” lalu disepakatilah tempo tersebut selama lima tahun. Ternyata setelah lima tahun berlalu, ucapan mereka tidak terbukti. Lalu hal ini diceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: “Mengapa tidak kalian tentukan temponya sekitar sepuluh tahun?”[10]

Di sini kedua belah pihak menyediakan hadiah untuk lawannya apabila menang. Mengenai masalah ini, tidak ada dalil yang menerangkanya telah dimansukh.

2. Agama ditegakkan juga dengan hujjah dan ijtihad. Apabila perlombaan dengan alat-alat jihad diperbolehkan, maka kompetisi ilmiah lebih utama lagi untuk diperbolehkan.

Ibnul Qayyim berkata,”Oleh karena itu, musâbaqah dalam bidang keilmuan yang bisa membukakan hati, memuliakan dan meninggikan Islam, (maka) lebih utama lagi bolehnya.”[11]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Kaset ceramah Syaikh Shalih Ali Syaikh seputar masalah Al-Qimar wa Shuwaruhu Al-Muharramah
[2]. Al-Qimâr wal-Musabaqat wal-Jawa’iz, Rafiq al-Mishri, hlm. 67.
[3]. Al-Qimâr wal-Musabaqat wal-Jawa’iz, hlm. 167-168. Lihat juga Majmu’ Fatawa, Syaikh Bin Bâz (4/201).
[4]. Majmu’ Fatawa wa Maqalât Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Bâz (4/203).
[5]. Lihat Fatawa Islamiyyah yang dikumpulkan oleh Muhammad bin ‘Abdul ‘Azizi Al-Musnad (4/443).
[6]. Al-Musabaqat wa Ahkamuha fisy-Syari’ah Al-Islamiyyah, Dr. Sa’d bin Nashir Al-Syatsri, hlm. 187.
[7]. Al-Umm, Imam Syafi’i (4/326), Mawahib Al-Jalil, Khalil Ar-Ru’aini (4/609), Raudhatuth-Thalibin, An-Nawawi (7/532), dan Al-Mughni, Ibnu Qudamah (11/532).
[8]. HR Abu Dawud, no. 2574, Tirmidzi, no. 1700, Nasâ’i, no. 3587, Ibnu Majah, no. 2878, dan Imam Ahmad, no. 7433, 5052. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Al-Irwa’, no. 1506.
[9]. Lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (6/403), Majmu’ Fatâwâ, Ibn Taimiyyah (32/227), al-Furusiyyah, Ibnul-Qayyim, hlm. 97, dan al-Inshaf, Al-Mawardi (6/91).
[10]. HR Tirmidzi, no. 3191-3194, dan beliau t berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
[11]. Al-Furusiyyah, Ibnul-Qayyim, hlm. 97.


**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah

Share this:

Enter your email address to get update from ISLAM TERKINI.

Tidak ada komentar

About / Contact / Privacy Policy / Disclaimer
Copyright © 2015. Sahabat Muslim - All Rights Reserved
Template Proudly Blogger